Pernikahan adalah syari’at Islam yang mana hukumnya wajib bagi orang yang telah memiliki kemampuan, karena khawatir terjatuh dalam perbuatan yang haram
misalnya, seperti zina dan
lain sebagainya yang dapat menimbulkan fitnah. Hal
ini untuk menjaga kesucian diri dan kehormatan bagi para pemuda - pemudi, sebagaimana disebutkan dalam Sabda Nabi :
يَا مَعْشَرَ الشَبَا بِ،مَنِ
ا سْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
Artinya:
“
Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian yang telah mampu untuk menikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih dapat menjaga pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan.[1]
Ketika akan melakukan pernikahan banyak syarat-syarat dan rukun-rukun yang
harus dipenuhi, salah satunya dalam hal akad pernikahan. Jika akad tersebut tidak dilakukan maka tidak akan terjadi sebuah pernikahan.
Bisa kita lihat pada masa sekarang, berbagai teknologi canggih telah muncul untuk mempermudah manusia dalam menjalin suatu hubungan tanpa harus melihat satu sama lain. Maka terjadilah kesepakatan untuk melakukan akad nikah melalui
telepon, yang dapat di artikan sebagai suatu bentuk pernikahan yang ijab qobulnya melalui telepon. Jadi antara mempelai laki-laki dan perempuan tidak saling menyaksikan dan dalam keadaan jauh. Lalu bagaimana hukum akad nikah tersebut ? Sah atau tidak ? Maka selanjutnya akan dibahas
mengenai hal ini.
Definisi
Akad
secara bahasa, عقد-يعقد yang artinya mengikat[2]
atau menikahi, ijab qabul. Secara
istilah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul dari pihak calon
suami atau wakilnya.[3]
Sebagaimana
di dalam Firman
Allah subhanahuwata’ala :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Maka lakukanlah akad nikah
dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”digunakan akad.[4]
Sedangkan
istilah handphone
sendiri adalah perangkat yang dapat membuat panggilan dan menerima panggilan melalui
sambungan radio, sambil bergerak di suatu wilayah geografis yang luas.[5]
Dengan
alat tersebut setiap orang bisa
mengetahui keberadaannya dengan memberikan nomor telepon satu sama lain, sehingga jarak
jauh pun dengan mudah dapat di jangkau.
Rukun akad nikah
Sebuah
akad nikah adalah sesuatu yang bukan sepele dan terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam Islam,
bagi setiap pasangan yang ingin membagun keluarga sakinah, mawadah, warahmah.
Pernikahan akan sah jika terpenuhi rukun-rukun[6]
sebagai berikut:
1.
Wali
2.
Dua
orang saksi
3.
Sighat
‘akad (ijabqabul )
4.
Mahar
(maskawin)
5.
Ridha
dan ikhtiyar (memilih)
6.
Tidak
bersepakat untuk saling merahasiakan
7. Objek
cabang
Adapun
syarat-syarat kedua belah pihak ketika melakukan akad nikah :
1.
Mampu
melaksanakan[7]
2.
Mendengar
perkataan orang lain
3.
Ijab
qobul harus sesuai dari segala segi[8]
4.
Masing-masing
kedua belah yang melakukan akad harus memahami perkataan pihak lain
5. Hendaknya
tidak di dapati hal yang dapat membatalkan ijab dari salah satu pihak sebelum mengucapkan
kalimat qobul.
6.
Ijab
qobul harus berada dalam satu majelis
7.
Mendapat
izin wali[9]
8. Seorang
wanita menunjukan kerelaan untuk di nikahi sebelum pelaksanaan pernikahan
Dari pemaparan diatas, kita mengetahui bahwa sebuah
akad nikah akan menjadi sah jika semuanya telah terpenuhi. Untuk menentukan sah atau tidaknya
akad nikah, tergantung dari
terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Jika dilihat secara formal
nikah lewat telepon
telah terpenuhi semuanya, tetapi apakah transaksi melalui telephone tersebut dikatakan
dalam satu majelis? Sedangkan keduanya dalam keadaan jarak jauh.
Dalam hal ini,
telah ditetapkan hukum menggunakan
hp dan internet di dalam melakukan transaksi, yang isinya sebagai berikut : “Jika
transaksi antara kedua pihak berlangsung dalam satu waktu, sedangkan mereka berdua
berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan
telepon, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak
yang bertemu dalam satu majelis.”[10]
Ketika saksinya pun tidak bisa menyaksikan
langsung akad nikah tersebut, hanya bisa mendengarkan suara melalui
telephone dapat dikiaskan saksi orang buta.
Menurut pendapat Jumhur Ulama kesaksian orang buta sah
jika ia mampu mendengar perkataan kedua belah pihak yang melangsungkan akad dan
dapat membedakannya tanpa ada keraguan sama sekali. Itu karena orang buta merupakan
orang yang berhak untuk bersaksi. Sedangkan
menurut Syafi’iah
orang buta tidak dapat diterima kesaksianya, karena perkataannya tidak dapat di
tangkap secara sempurna melainkan dengan melihat secara langsung dan mendengarkan.
Maka pendapat para ulama’ dalam hukum
akad nikah melalui telepon terbagi
menjadi dua :
Akad Via Telepon Boleh
Menurut Ulama’
Hanafiyah bahwa akad nikah via telepon dan internet itu sah dilakukan karena
mereka menyamakan dengan akad nikah yang dilakukan dengan surat karena surat di
pandang sebagai khitab ( Al – Khitab min Al – Ghaib bi Manzilah al – khitab min al – hadhir ) dengan syarat dihadiri oleh dua saksi. Meskipun
penggunaan telepon dan internet untuk melakukan akad nikah jarak jauh.
Dalam hal ini Syekh Bin Baz, Mufti Negara Saudi ketika ditanya
oleh seseorang yang menikah lewat telepon dan mereka saling mengenal suara masing-masing
pihak, beliau menyatakan bahwa pernikahaannya sah.[11]
Akad Via Telepon Tidak Boleh
Sedangkan pendapat tersebut di tentang oleh
Jumhur Al-Ulama’ mengingat pernikahan memiliki
nilai yang sangat sakral,
dan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Oleh Karena
itu pelaksanaan harus dihadiri kepada yang bersangkutan langsung dalam hal ini mempelai
laki-laki, wali dan minimal dua orang saksi.[12]
Menurut fatwa Lajnah Da’imah Lilifta’, seharusnya tidak melakukan akad
nikah berupa ijab qobul, dalam perwakilan melalui percakapan telepon, dan untuk
mewujudkan maqosid (maksud dan tujuan) syari’at
untuk memberikan perhatian yang lebih. Dalam hal menjaga kesucian diri dan kehormatan,
sehingga orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan orang-orang yang berniat untuk
melakukan penipuan dan kecurangan, mereka tidak bias untuk bermain-main dalam hal ini.[13]
Daftar Pustaka
Hasyim, Darwis. Fatawa Maratul
Muslim, Darul Hisyam, 4 agustus 2002
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih
Islam Waadilatuhu, Jilid 9,Diterjemahkan Oleh Abdul Hayyie Al-Kattani, Dkk,
Darul Fikri.Jakarta 2011.
Kamal bin Sayyid Salim, Abu
malik. Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Diterjemahkan Oleh Asep Sobari,
Al-I’tishom, Jakarta, Timur, Maret 2007
Al-Jazairi, Jabir, Abu
Bakar. Minhajul Muslim, Diterjemahkan Oleh Andi Subarkah, Insan Kamil,
cetakan ke 5, Nofember, 2012.
Ahmad Munawir Warson, Kamus
Al-Munnawir, Pustaka Progressif, Surabaya, Januari, 1997.
http://opini-hukum.blogspot.com/2012/04/pendahuluan
-html.tgl 3-11-2014
http://hanafiyesss.
Blogspot.com/2013/02/nikah-via telep - html.tgl 26-10-2014
http://kumpulan
sejarah1001. blogspot.com/2013/11/pengertian-sejarah-handphone html. tgl.4-11-2014.
http://fkpelfurqon.
blogspot. Com/2012/09/ hukum–menikah-lewat-internet. html. tgl. 7. 11. 2014
[5]http://kumpulan
sejarah1001.blogspot.com/2013/11/pengertian-sejarah-handphone.html.tgl.4,11,2014.
[6]Abu Baka Jabir Al-Zajairi. Minhajul
muslim, Di Terjemahkan Oleh Andi Subarkah, Insan Kamil, Cetakan ke-5,
Solo,Nofember, 2012, hlmn.720
[7] Wahbah Zuhaili,Fiqih Islam Wadilatuhu Jilid 9, Diterjemahkan Oleh Abdul
Hayyie Al-Kattani, Dkk, daru Darul Fikri.Jakarta 2011.
hlmn.55.jilid.9
[8]Wahbah
Zuhaili,Fiqih Islam Wadilatuhu Jilid 9, Diterjemahkan Oleh Abdul Hayyie Al-Kattani, Dkk, daru Darul
Fikri.Jakarta 2011. hlmn.65.jilid.9
[9]Abu
Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah Untuk Wanita. Di Terjemahkan
Oleh Asep Sobari Al-I’tishom, Jakarta Timur, 2007, hlmn.654
[11]http://fkpelfurqon
.blogspot.com/2012/09/hukum –menikah-lewat-internet.html.tgl.7.11.2014
[12]http://opini-hukum.blogspot.com/2012/04/pendahuluan
.html.tgl 3.11.2014
[13]Darwis
Hasyim, Fatawa maratul muslim, Darul Hisyam, 4, Agustus, 2002, hlmn.265